MEMONESIA.COM – Pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, soal teror kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo memicu kontroversi.
Hasan menyebut kepala babi itu “dimasak saja,” sebuah respons yang awalnya dianggap meremehkan insiden serius tersebut. Namun, Hasan kemudian menjelaskan bahwa komentarnya adalah bentuk dukungan terhadap jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana alias Cica, yang menjadi target teror.
Hasan menegaskan bahwa pernyataannya bukan sekadar guyonan, melainkan bentuk strategi menghadapi teror dengan sikap tak gentar. Baginya, menanggapi teror dengan santai adalah cara melemahkan tujuan pelaku.
Hasan mengklarifikasi bahwa kalimat “dimasak saja” bukanlah pendapat pribadinya, melainkan kutipan langsung dari unggahan Cica di akun X (sebelumnya Twitter).
“Saya cuma mengutip dari X-nya Francisca, jurnalis yang dikirimi kepala babi itu. Saya sebenarnya jarang sepakat sama Tempo, tapi saya setuju dengan cara Francisca merespons teror itu,” kata Hasan, Sabtu, 22 Maret 2025.
Menurut Hasan, respons santai seperti itu adalah bentuk pelecehan balik terhadap pelaku teror. Dengan tidak menunjukkan rasa takut, tujuan peneror otomatis gagal.
Hasan memandang respons Cica sebagai strategi efektif untuk menghadapi teror. Menurutnya, ketakutan adalah inti dari sebuah teror. Jika rasa takut itu tidak muncul, maka teror tersebut gagal mencapai tujuannya.
“Justru dengan merespons seperti itu, si peneror ini yang jadi bingung. Kalau kepala babinya dimasak, artinya teror itu nggak berhasil. Itu cara melecehkan teror yang efektif,” ujarnya.
Hasan membandingkan situasi ini dengan peristiwa bom Sarinah pada 2016. Kala itu, meski terjadi ledakan, warga Jakarta tetap beraktivitas seperti biasa.
“Waktu bom Sarinah, kenapa jadi pembicaraan dunia? Karena orang Jakarta nggak takut. Ada yang jual kacang, jual sate. Justru itu yang bikin teror gagal, karena nggak ada yang takut,” kata Hasan.
Di tengah kontroversi, Hasan juga menepis tuduhan bahwa pemerintah berupaya membungkam media. Menurutnya, sejauh ini tidak ada larangan atau pembatasan terhadap aktivitas jurnalistik di Indonesia.
“Buktinya, sampai sekarang nggak ada sensor. Media bebas nulis apa saja, termasuk kritik ke pemerintah. Jadi kalau ada yang bilang ini upaya membungkam, ya itu nggak benar,” tegasnya.
Hasan menekankan bahwa mendukung respons santai Cica bukan berarti meremehkan insiden tersebut. Sebaliknya, sikap itu adalah bentuk perlawanan terhadap teror.
“Kalau kita takut, berarti peneror menang. Tapi kalau kepala babinya malah dimasak, itu berarti teror mereka gagal total,” kata Hasan.
Tidak ada komentar