KUTAI TIMUR – Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy Batuta Trans Kalimantan di wilayah Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) digadang-gadang akan menjadi penyokong sumber ekonomi di Kalimantan Timur.
Namun, sejak 2019 silam diresmikan, proyek strategis nasional (PSN) yang memanfaatkan kekayaan sumber daya alam (SDA) khususnya kelapa sawit di wilayah tersebut. Hingga saat ini belum mampu beroperasi dan menggaet investor sesuai yang ditargetkan.
Masalah tersebut, mengundang kegelisahan banyak pihak khususnya para legislator di Kutim. Faizal Rachman, salah satu Anggota DPRD Kutim ini angkat bicara. Ia mengatakan pemerintah dearah seharusnya lebih serius mengelola KEK Maloy, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Potensi PAD sangat besar jika pemerintah memanfaatkan industri hilirisasi pengelolaan hasil kelapa sawit,” kata Faizal Rachman kepada awak media belum lama ini.
Kata dia, saat ini sejumlah pabrik pengolahan sawit yang beroperasi di Kutim hanya memproduksi CPO atau minyak mentah dari sawit. Sehingga perlu dilakukan pengelolaan bagi produk turunan dari CPO yang bisa dihasilkan.
“Misalnya minyak goreng, salad oil, sabun, margarine dan masih banyak lainnya. Semuanya bisa dimaksimalkan untuk mendongkrak PAD Kutim,” ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.
Ia menyadari upaya menghadirkan industri hilirisasi CPO di Kutim bukanlah hal yang mudah. Karenanya perlu ada komitmen dari pemerintah daerah untuk menghadirkan kepastian hukum bagi para investor. “Investor membutuhkan kepastian hukum, selain itu harus ada keseriusan pemerintah,” tambahnya.
Selain itu, Faizal berharap pemerintah Kutim mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif, sehingga lebih menarik minat para investor dan tidak ragu untuk menanamkan modalnya.
Diketahui, KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 85 tahun 2014. Kawasan ini disebut kaya akan sumber daya alam (SDA) terutama kelapa sawit, kayu dan energi.
Namun seiring berjalannya waktu, KEK Maloy belum mampu beroperasi dan menggaet investor sesuai target. Bahkan hingga 2023, investasi yang masuk ke kawasan ekonomi khusus tersebut baru Rp 100 miliar. Padahal, jika dibandingkan dengan KEK di daerah lain, investasinya sudah mencapai triliunan rupiah.