Warga Indonesia Kebanyakan Miskin Gegara Beras dan Rokok, Data BPS!

Miskin
Ilustrasi

MEMONESIA.com – Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi rokok, khususnya kretek filter, ternyata menjadi penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua, setelah beras.

Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat pada Maret 2022, data garis kemiskinan di tanah air mengalami kenaikan sebesar 2,96 persen. Dari Rp 458.947 per kapita/bulan pada September 2020 menjadi Rp 472.525 per kapita/bulan. Garis kemiskinan merupakan pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan nonmakanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.

“Komoditas makanan berperan besar terhadap garis kemiskinan dengan sumbangsih mencapai 73,96 persen. Makanan yang berpengaruh besar adalah beras dengan kontribusi 20,03 persen di perkotaan dan 24,06 persen di pedesaan,” ujar Kepala BPS, Margo Yuwono dalam keterangan pers belum lama ini.

Setelah beras, kata Margo rokok kretek filter pun menjadi komoditas penyumbang kemiskinan terbesat. Bahkan tercatat mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan. Namun, angka tersebut mengalami tren turun dibandingkan pada Maret dan September 2020, khususnya di perkotaan.

Sementara, faktor lain yang menjadi penyumbang garis kemiskinan terbesar ketiga adalah perumahan. Tercatat mencapai 8,92 persen di perkotaan dan 7,94 persen di pedesaan. Lalu ada deretan komoditi berikutnya, yakni telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe dan tahu, kopi, kue basah, bensin, listrik, pendidikan, hingga perlengkapan mandi.

Sedangkan jumlah penduduk miskin di tanah air, tercatat jumlah penduduk miskin pada September 2021 sebesar 26,50 juta orang, turun 0,43 persen atau 1,04 juta orang dari Maret 2021.

Margo mengatakan, salah satu cara mengendalikan angka kemiskinan adalah dengan cara menjaga harga-harga komoditas yang menjadi penyumbang utama garis kemiskinan. Pemerintah pun di tahun ini kembali menaikkan cukai rokok mencapai 12,5 persen. 

Dengan kenaikan cukai tersebut, rata-rata harga jual eceran rokok naik 13,8 persen hingga 18,4 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, kenaikan cukai rokok bertujuan untuk mengurangi konsumsi masyarakat atas rokok dan tingkat prevalensi (risiko) perokok usia dini.

Namun, Survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa 77,1 persen responden keluarga miskin tidak menurunkan konsumsi rokok-nya selama pandemi Covid-19. Konsumsi rokok mereka bahkan cenderung meningkat meski penghasilannya anjlok.

Survei dilakukan kepada 1.013 kepala keluarga miskin secara tatap muka. Survei ini digelar di lima wilayah aglomerasi utama di Indonesia yaitu Jakarta Raya (Jabodetabek), Semarang Raya, Surabaya Raya, Medan Raya dan Makassar Raya.

Dari total responden tersebut, 73,2 persen perokok miskin mempertahankan pengeluaran rokok-nya meski kondisi ekonomi menurun. “Dengan demikian, pengeluaran kebutuhan lain yang turun atau bahkan ditiadakan agar dapat terus merokok dengan kuantitas yang sama,” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulis, Kamis (1/7)

Survei bahkan menunjukkan 39,7 persen responden mengaku rela membeli rokok yang sudah biasa mereka konsumsi meski harganya meningkat saat pandemi. Sedangkan 21,2 persen responden memilih untuk menurunkan pengeluaran untuk rokok karena penghasilan yang turun signifikan.

“Mereka beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah. Namun, berpindah ke rokok murah membuat perokok miskin mempertahankan kuantitas konsumsi rokok dengan pengeluaran yang lebih rendah,” katanya. (redaksi)