PM Jepang Sanae Takaichi dan Presiden China Xi Jinping (via Wikimedia Commons)MEMONESIA.COM – Hubungan China dan Jepang memanas usai pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi mengenai kemungkinan pengerahan pasukan jika Taiwan mendapat serangan bersenjata. Ucapan itu disampaikan awal November di hadapan parlemen dan dianggap Beijing sebagai provokasi yang merusak stabilitas kawasan.
Kementerian Luar Negeri China mendesak Takaichi mencabut pernyataannya. Konsul Jenderal China di Osaka, Xue Jian, bahkan mengunggah pesan bernada ancaman terhadap Takaichi di media sosial. Meski tekanan meningkat, PM Jepang itu menolak menarik ucapannya. Ketegangan pun meroket hingga China membatasi penerbangan ke Jepang dan melarang warganya menonton anime Jepang.
Di sektor pariwisata, langkah itu menimbulkan kekhawatiran besar. Turis China merupakan pengunjung terbanyak ke Jepang, dan setiap penurunan jumlah wisatawan punya dampak langsung terhadap bisnis lokal.
China terus menuntut Takaichi mencabut pernyataannya karena dianggap memperkeruh hubungan dan memicu kemarahan publik. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menegaskan bahwa Jepang akan menanggung seluruh konsekuensi jika tetap mempertahankan sikap tersebut saat konferensi pers Rabu (19/11). Namun ia tidak merinci bentuk respons tegas yang dimaksud.
Analisis The Guardian menyebut risiko konflik meningkat seiring aktivitas militer yang makin sering terjadi di wilayah sensitif seperti Kepulauan Senkaku dan ADIZ Taiwan. Situasi ini memperbesar kemungkinan salah perhitungan yang dapat berubah menjadi bentrokan.
Dalam jangka pendek, perselisihan ini diperkirakan berdampak pada hubungan ekonomi dan interaksi masyarakat kedua negara. Seruan China agar warganya menghindari perjalanan ke Jepang langsung menekan saham pariwisata dan ritel. Lebih dari 120 ribu pelajar China berada di Jepang per Mei 2024, sementara 1,67 juta warga China telah berkunjung dalam delapan bulan pertama tahun ini.
Ekonom Nomura Research Institute, Takahide Kiuchi, menilai peringatan perjalanan China bisa menimbulkan kerugian hingga ¥2,2 triliun atau sekitar Rp234 triliun bagi Jepang. Beban ekonomi makin berat setelah China menunda perilisan dua anime Jepang dengan alasan meningkatnya sentimen penonton terhadap pemerintahan Takaichi.
Di tengah meningkatnya tekanan, Takaichi tetap kukuh. Namun sejumlah sumber menyebut utusan tingkat tinggi dari Tokyo sedang menuju Beijing untuk meredam situasi dan mencegah eskalasi lebih jauh.
Sejarah Panjang Sensitivitas Jepang–Taiwan
Relasi Jepang dan Taiwan memiliki akar panjang. Taiwan berada di bawah kekuasaan kolonial Jepang selama sekitar 50 tahun sejak 1895 sebelum diserahkan ke Republik China (ROC) setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Penyerahan itu terjadi di tengah perang saudara antara ROC dan pasukan Komunis.
ROC kemudian mundur ke Taiwan dan membangun pemerintahan di sana, sementara Komunis mendirikan Republik Rakyat China (PRC) di Beijing. Sejak itu PRC mengklaim Taiwan sebagai bagian wilayah kedaulatannya dan berulang kali menegaskan siap menggunakan kekuatan jika diperlukan.
Taiwan menjadi sumber gesekan berkelanjutan yang melibatkan Amerika Serikat dan negara-negara regional. Jika Beijing benar-benar menginvasi pulau tersebut, Jepang hampir pasti terseret dalam konflik mengingat 99 persen perdagangan Jepang bergantung pada jalur maritim yang melintasi wilayah sekitar Taiwan.
Tidak ada komentar