MEMONESIA.COM – Ribuan mahasiswa di Indonesia merayakan momen sakral saat tali toga dipindahkan ke sisi kiri. Namun, euforia kelulusan sering kali berakhir dengan kenyataan pahit: gelar sarjana tidak menjamin pekerjaan yang layak. Fenomena ini semakin nyata di tengah ketimpangan antara dunia akademik dan kebutuhan industri yang terus berkembang.
Lulusan perguruan tinggi kerap memasuki dunia kerja dengan ekspektasi tinggi. Mereka menganggap gelar yang diraih dengan kerja keras bertahun-tahun adalah tiket emas menuju pekerjaan impian. Namun, statistik menunjukkan sebaliknya. Banyak sarjana justru terjebak dalam pengangguran atau bekerja di sektor yang tak sesuai dengan bidang studi mereka.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia didominasi oleh lulusan perguruan tinggi. Ironi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pendidikan tinggi di Indonesia benar-benar relevan dengan kebutuhan pasar?
Salah satu penyebab utama ketimpangan ini adalah kurikulum perguruan tinggi yang stagnan. Banyak universitas masih mengajarkan teori-teori klasik tanpa mengimbanginya dengan keterampilan praktis yang dibutuhkan industri. Padahal, dunia kerja kini menuntut penguasaan teknologi, kemampuan analisis data, hingga keterampilan berpikir kritis yang dinamis.
Ketimpangan ini diperparah dengan tuntutan pengalaman kerja bagi calon karyawan baru. Banyak perusahaan mengharapkan kandidat yang sudah memiliki pengalaman, namun di sisi lain, kesempatan bagi fresh graduate untuk mendapatkan pengalaman justru terbatas. Ini menciptakan paradoks yang sulit dipecahkan.
Setiap tahun, perguruan tinggi mencetak ribuan lulusan baru. Sayangnya, jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Kondisi ini memaksa lulusan untuk bersaing ketat dalam pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.
Dari perspektif ekonomi, teori Human Capital milik Becker (1964) menyebutkan bahwa pendidikan adalah investasi yang seharusnya meningkatkan produktivitas individu. Namun, jika keterampilan yang diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan pasar, investasi ini menjadi kurang efektif.
Dari sisi sosial, teori Struktural Fungsionalisme Durkheim menjelaskan bahwa pendidikan seharusnya mempersiapkan individu untuk berkontribusi pada masyarakat. Namun, jika lulusan tidak terserap oleh dunia kerja, maka terjadi disfungsi sosial yang berpotensi menciptakan ketimpangan ekonomi.
Sementara itu, teori Konflik Marx mengungkapkan bahwa pendidikan cenderung memperkuat ketimpangan sosial. Lulusan dari universitas ternama atau yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibanding mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi lemah. Hal ini memperbesar jurang sosial yang sudah ada.
Ekspektasi Lulusan yang Tidak Realistis
Ekspektasi yang tidak realistis dari para lulusan juga menjadi kendala. Banyak dari mereka berharap mendapatkan pekerjaan bergengsi dengan gaji fantastis pasca wisuda, tanpa menyadari bahwa dunia kerja menuntut proses panjang untuk mencapai posisi tersebut. Saat kenyataan tidak sesuai dengan harapan, frustrasi-pun muncul. Hal ini semakin diperparah oleh tekanan sosial dan stigma negatif bagi sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan.
Namun, menyalahkan sepenuhnya pada lulusan atau perguruan tinggi saja tidaklah adil. Pemerintah dan sektor industri juga memiliki tanggung jawab besar dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang mendukung terciptanya lapangan kerja baru, khususnya di sektor-sektor yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi seperti teknologi, energi terbarukan, dan industri kreatif. Insentif untuk perusahaan yang membuka peluang magang berkualitas juga dapat menjadi solusi jangka pendek untuk membantu mahasiswa mendapatkan pengalaman praktis yang relevan.
Sektor industri juga perlu lebih aktif bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Melalui program kemitraan, mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga mendapatkan wawasan langsung tentang tantangan dan peluang dunia kerja. Selain itu, perusahaan harus lebih terbuka untuk merekrut lulusan baru dengan memberikan pelatihan intensif sebagai bagian dari proses onboarding.
Reformasi Perguruan Tinggi
Tak kalah penting adalah peran perguruan tinggi itu sendiri. Institusi pendidikan harus berani melakukan reformasi kurikulum secara besar-besaran denagn berfokus pada pengembangan keterampilan kekinian; berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi.
Sejalan dengan itu, perguruan tinggi perlu memperkuat program karier dengan menyediakan pelatihan keterampilan, bimbingan karier, dan kesempatan jaringan dengan profesional di berbagai bidang. Di tingkat individu, mahasiswa dan sarjanawan juga perlu mengubah pola pikir semata-mata mengandalkan ijazah tidak cukup di era persaingan yang semakin ketat.
Mahasiswa harus aktif mencari peluang untuk mengembangkan keterampilan tambahan melalui kursus daring, sertifikasi, komunitas, atau kegiatan ekstrakurikuler yang relevan. Selain itu, membangun jaringan yang kuat dengan profesional di industri yang diminati dapat membuka pintu ke peluang kerja yang lebih luas.
Khulasah
Fenomena sulitnya lulusan perguruan tinggi mendapatkan pekerjaan bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dalam semalam. Ini adalah tantangan kompleks yang membutuhkan sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, industri, dan individu itu sendiri. Dengan reformasi sistem pendidikan, kolaborasi yang lebih erat antara dunia akademik dan industri, serta kesadaran individu untuk terus belajar dan beradaptasi, dilema ini dapat diatasi.
Pada akhirnya, gelar perguruan tinggi tetap memiliki nilai, tetapi bukan lagi sebagai penentu tunggal keberhasilan. Dunia kerja menuntut lebih dari sekadar gelar; keterampilan, pengalaman, dan adaptif.
Penulis :
Halaman : Indonesiana
Tidak ada komentar