KUTAI TIMUR – Meskipun angka prevalensi stunting di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) telah mengalami penurunan selama 2 semester akhir pada 2024, hal itu tidak membuat Pemkab Kutim berpuas diri.
Upaya menurunkan angka prevalensi stunting terus dilakukan, berbagai program kerja terus dilaksanakan. Salah satunya melalui kegiatan rembuk dan seminar stunting lintas stakeholder yang digelar DPPKB Kutim, di D’Lounge Hotel Royal Victoria, belum lama ini.
Kepala DPPKB Kutim Ronny Bonar Hamonangan Siburian mengatakan kegiatan rembuk dan seminar menghadirkan perangkat penting pemerintah dalam upaya menyelesaikan masalah stunting. Mulai kelompok kemitraan, seperti PKK, Desa/Kelurahan, Kecamatan, hingga OPD terkait.
“Peserta kegiatan rembuk dan seminar stunting diikuti sebanyak 80 orang yang terdiri dari perangkat daerah Pemkab Kutim, Wakil Bupati, PD, Kepala Kementerian Agama, Seluruh Perguruan Tinggi, TP-PKK, Ketua Forum CSR, PLKB dan Dewan Pakar Audit Stunting,” ujarnya, Rabu (27/3/2024)
Permasalahan stunting, kata Ronny, merupakan tanggung jawab semua pihak, tidak hanya di lingkungan pemerintah namun juga di lingkungan masyarakat. Maka perlu adanya kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat peran dari masing-masing perangkat, meningkatkan kolaborasi serta komitmen besar dalam menghadapi masalah stunting.
“Merumuskan rencana kerja atau rencana aksi kegiatan prioritas pencapaian percepatan penurunan stunting di Kabupaten Kutim. Mengembangkan Data Intervensi Percepatan Penurunan Stunting, sebagai upaya strategis pencapaian sasaran kinerja dan penurunan angka stunting di Kabupaten Kutim. Selanjutnya optimalisasi kolaborasi peran serta OPD, dan mitra pembangunan yang terkait dalam percepatan penurunan stunting melalui berbagai program yang ditetapkan,” terangnya.
Sementara itu, Kepala BKKBN Kaltim Sunarto menyampaikan, intervensi yang dilakukan Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua yaitu Intervensi gizi spesifik dan Intervensi gizi sensitif. BKKBN mengambil peran melaksanakan tugas pemberdayaan keluarga (intervensi sensitif) dengan cara promosi, komunikasi informasi dan edukasi.
Langkah awal, sambung Sunarto, dalam intervensi gisi sensitif yakni dengan cara melakukan pendampingan selama periode 1.000 hari pertama kehidupan sejak saat kehamilan dingga anak berusia 2 tahun. Diharapkan dengan adanya pendampingan gizi, dapat memberikan keberhasilan proses pertumhunan dan perkembangan, khususnya 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
“Pendampingan berupa, meningkatkan kemampuan keluarga terhadap sadar gizi dengan menerapkan prinsip gizi seimbang dan memberikan stimulasi yang tepat agar tumbuh kembang anak optimal,” imbuhnya.
Sunarto berpendapat, keluarga merupakan kunci dasar dalam menangani permaslahan stunting di Indonesia. Sebab lingkungan keluarga adalah unit terkecil dari sebuah nasib negara, apabila keluarga sehat dan bahagia, maka secara teoritik negara juga akan bahagia.
“Semoga rembuk stunting ini, meningkatnya pemahaman keluarga yang mendapatkan informasi Program Bangga Kencana, dan Percepatan Penurunan Stunting. Kemudian meningkatnya komitmen pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten atau kota dalam pelaksanaan Program Bangga Kencana dan penyelenggaraan percepatan Penurunan Stunting. Terakhir meningkatnya peran aktif pemangku kepentingan atau mitra kerja dalam proses advokasi dan KIE Program Bangga Kencana dan penyelenggaraan percepatan Penurunan Stunting,” tutupnya.