Ilustrasi Memonesia.MEMONESIA.COM – Setiap 28 Oktober, Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda dengan semangat kebangsaan yang menggelora. Upacara, lomba, hingga kampanye persatuan digelar di berbagai penjuru negeri. Namun, pertanyaan klasik selalu muncul setiap tahun: mengapa momen sebesar ini tidak ditetapkan sebagai hari libur nasional?
Jawabannya sederhana, tapi menarik untuk dikupas. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025, tanggal 28 Oktober tidak termasuk dalam daftar hari libur resmi. Artinya, kegiatan belajar mengajar, aktivitas perkantoran, dan layanan publik tetap berjalan seperti biasa.
Pemerintah memang membedakan antara “hari nasional” dan “hari libur nasional.” Tidak semua momen bersejarah otomatis menjadi hari libur. Dalam konteks ini, Hari Sumpah Pemuda dikategorikan sebagai hari nasional non-libur, sejajar dengan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei) dan Hari Pahlawan (10 November).
Penetapan itu berlandaskan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959, yang mengakui Sumpah Pemuda sebagai hari nasional, namun bukan hari libur resmi. Alasannya jelas: agar semangat perjuangan dan nilai-nilai pemuda tetap dirayakan tanpa mengorbankan produktivitas dan roda ekonomi bangsa.
Meski tanpa status libur, maknanya tak berkurang sedikit pun. Tahun ini, peringatan Sumpah Pemuda ke-97 mengusung tema “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu.” Tema tersebut menegaskan peran generasi muda sebagai penggerak kolaborasi dan persatuan di tengah dinamika zaman. Pemerintah, melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), bahkan telah menerbitkan panduan resmi pelaksanaan peringatan 2025, lengkap dengan logo, kegiatan, dan pesan yang ingin digaungkan ke seluruh lapisan masyarakat.
Untuk memahami mengapa 28 Oktober mendapat tempat istimewa dalam sejarah bangsa, perlu menengok kembali ke hampir satu abad silam. Kongres Pemuda pertama digelar di Batavia (kini Jakarta) tahun 1926. Meski belum menghasilkan keputusan monumental, forum itu menegaskan gagasan tentang Indonesia yang bersatu—sebuah ide yang saat itu masih berani dan belum populer di tengah penjajahan Hindia Belanda.
Kala itu, kondisi politik dalam negeri tengah tegang usai penumpasan pemberontakan di Banten, Cilegon, dan Sumatera Barat. Namun, semangat para pemuda justru tumbuh. Di tengah tekanan kolonial, muncul tokoh muda seperti Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu berjudul “Indonesia”—cikal bakal “Indonesia Raya.” Karena khawatir terhadap pengawasan pemerintah kolonial, proses perekaman lagu dilakukan diam-diam di rumah Yo Kim Tjan, pemilik toko musik di Pasar Baru, Batavia.
Dua tahun kemudian, 27–28 Oktober 1928, digelar Kongres Pemuda II di tiga lokasi berbeda di Batavia: gedung Katholieke Jongelingenbond, Oost Java Bioscoop, dan rumah Sie Kong Lian di Jalan Kramat Raya No. 106. Dalam penutupan kongres, Supratman memperdengarkan Indonesia Raya menggunakan biola, diiringi nyanyian Dolly Salim, putri Haji Agus Salim.
Momen itu melahirkan ikrar bersejarah yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda — tiga pernyataan yang menegaskan tekad satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Sejak Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai hari nasional non-libur untuk memperingati tonggak persatuan tersebut. Kini, hampir satu abad kemudian, api semangat dari Kongres Pemuda itu tetap menyala. Dari upacara bendera hingga aksi sosial, nilai persatuan, keberanian, dan cinta tanah air terus dihidupkan oleh generasi penerus di seluruh pelosok negeri.
Tidak ada komentar