Persoalan Stunting Jadi Perhatian Khusus Pemkab Kutim

KUTIM – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab Kutim) lebih serius lagi dalam menghadapi permasalahan kekurangan gizi pada bayi (stunting). Berbagai macam upaya pencegahan dan penurunan angka stunting terus digalakkan

Bagaimana tidak, Kutim sempat tercatat menjadi daerah dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Kaltim pada periode 2022, yakni mencapai 27,4 persen. Artinya dari 10 bayi yang lahir 3 diantaranya mengalami gizi buruk.

Permasalahan itu menjadi pukulan telak Pemkab Kutim dan harus memberikan solusi konkrit. Wakil Bupati Kutim Kasmidi Bulang mengaku hal itu sangat menyita perhatian. Ia meminta permasalahan stunting menjadi perhatian serta tanggung jawab bersama, sebeb pemecahan persoalan tersebut tidak hanya bisa dilakukan dengan satu arah.

“Pemerintah mengeluarkan kebijakan, perusahaan mendukung, masyarakat pun ikut berpartisipasi menghadapi persoalan stunting,” tukasnya.

Ia menerangkan, beberapa strategi dalam menekan angka stunting terus dilakukan, salah satunya dengan membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Kutim. Sejak setahun lalu bertugas angka stunting di Kutim pun berhasil diredam.

Dari diposisi tertinggi di Kaltim, saat ini tercatat angka stunting di Kutim mulai menurun yakni berada diangka 24,7 persen. Kutim beradaa pada posisi ke empat, dibawah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda dan Kabupaten Paser.

“Alhamdulilah itu upaya kerja keras kita semua,” ujarnya.

Meski menurun, sambung Kasmidi, hal itu tidak membuatnya merasa puas sebab angka tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo yakni 14 persen pada 2024 mendatang.

Maka dari itu, pihaknya akan mengerahkan seluruh potensi untuk dioptimalkan dalam mengentaskan stunting di Kutim. Stunting merupakan kekurangan gizi pada bayi di 1.000 hari pertama kehidupan yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.

“Pada akhirnya mengalami kekurangan gizi menahun dan tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya,” papar Wabup.

Untuk itu, fokus utama TPPS Kutim adalah bagaimana stunting bisa dientaskan. Karena ini menyangkut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bagi anak di masa mendatang. “Anak yang mengidap stunting karena mengganggu potensi SDM dan berhubungan dengan tingkat kesehatan, bahkan kematian anak,” ungkapnya.

Semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait telah bekerja secara optimal bahkan melakukan penyuluhan hingga ke sekolah. Wabup juga mengapresiasi instansi vertikal yang selama ini sudah bekerja sama dengan pihak swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) menyasar wilayah yang paling tinggi angka stuntingnya.

“Memang ada relawan yang dibentuk untuk jemput bola dengan mendata, melakukan penyuluhan, dan penimbangan badan di Posyandu,” ulasnya.

Sementara, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kutim, Roni Bonar Siburian mengatakan saat ini pihaknya bersama TPPS terus fokus pada persoalan penurunan angka stunting yang ada di Kutim. “Sesuai yang direncanakan atau ditargetkan, agar dapat turun hingga 20 persen dan pada 2024 mendatang bisa tembus 14 persen,” jelasnya.

Pihaknya juga ingin menghilangkan persepsi bahwa pendek bukan stunting tapi stunting pasti pendek. Jadi tak boleh berpikir anak pendek itu stunting. Namun yang harus diperhatikan adalah perkembangannya, terutama kecerdasan otak anak. Disebutkannya, angka stunting di Kutim masih kisaran 24,7 atau 8 persen. Karena itu, pihaknya menarget di angka 20 persen sehingga di 2024 bisa pelan-pelan menurun.

“Jadi data yang ada nanti bisa disinkronkan dengan kondisi riil di lapangan. Karena sesuai fakta yang ada dan biasanya dikaitkan dengan data kemiskinan ekstrem. Karena stunting tinggi itu gizinya kurang. Kalau gizinya kurang, maka otomatis tingkat kelayakan hidup juga kurang,” tutupnya.