Mengkritisi Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat: Jalan Menuju Polarisasi atau Kemajuan?

Admin
4 Mei 2025 10:11
6 menit membaca

MEMONESIA.COM – Di tengah hiruk-pikuk peningkatan mutu pendidikan di tanah air, yang sering diikuti dengan perubahan zaman secara global serta tantangan serius akibat kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat—dalam hitungan bulan pun perubahan bisa sangat drastis—hal ini seiring dengan perubahan geopolitik dan keterbukaan informasi secara global.

Pemerintah, melalui berbagai kebijakan, berupaya mencapai visi Indonesia Emas 2045. Saat ini, pemerintah memperkenalkan dua kebijakan pendidikan yang secara sekilas tampak menjanjikan, yaitu Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat.

Sekolah Garuda ditujukan bagi siswa-siswi berprestasi tinggi. Tujuannya adalah menyiapkan mereka untuk menembus universitas-universitas kelas dunia. Sementara itu, Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, dengan janji pemenuhan kebutuhan dasar serta pembinaan karakter.

Bagaimana dengan sekolah-sekolah yang sudah ada? Apakah dianggap tidak bermutu dan tidak relevan? Ini harus menjadi renungan bersama. Perlu diketahui bahwa para pemimpin dan pengambil kebijakan saat ini adalah produk dari sekolah-sekolah yang telah lama berdiri, bahkan sejak zaman ketika segala sesuatunya masih jauh dari harapan. Namun, marilah kita bersama-sama memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan, serta membangun motivasi yang berlandaskan semangat kemerdekaan.

Tak bisa kita pungkiri bahwa pendidikan kita saat ini berkembang dengan semangat luar biasa untuk memberikan spirit baru dan kesiapan bersaing di dunia global. Dua inisiatif ini terlihat seperti strategi kebijakan paralel untuk mencapai kemajuan dan pemerataan pendidikan.

Namun, di balik wajah progresifnya, tersembunyi potensi bahaya yang justru bisa memperlebar jurang kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan di tanah air. Alih-alih menjembatani kesenjangan dan memperkuat keadilan sosial, kebijakan ini malah berisiko memperkuat dikotomi kelas yang sudah lama menghantui sistem pendidikan nasional.

Kebijakan ini memang perlu dikaji lebih mendalam mengenai dampaknya, walaupun tujuannya adalah mengejar ketertinggalan dan keterpurukan pendidikan serta membantu warga yang termarjinalkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu di seluruh pelosok negeri.

Munculnya Sekolah Garuda dengan berbagai fasilitas unggulan dan proses seleksi ketat menjadi simbol eksklusivitas, seolah hanya diperuntukkan bagi kalangan ekonomi menengah ke atas.

Sebaliknya, Sekolah Rakyat mencerminkan narasi penyelamatan terhadap kelompok termarjinalkan—diberi bekal cukup untuk bertahan hidup, namun tidak cukup untuk bersaing di medan kompetisi global. Di titik ini, pendidikan bukan lagi ruang bersama, melainkan arena segregasi berbasis ekonomi yang berpotensi memisahkan kaum bawah dan kaum atas.

Kondisi ini menciptakan gejala polarisasi yang kian tajam dalam masyarakat: satu sisi mencerminkan elite intelektual dengan akses menuju dunia global, sementara sisi lain menunjukkan keterbatasan yang dibungkus dengan semangat kerakyatan.

Pendekatan yang terlalu berbeda dalam satu sistem kebijakan justru menciptakan batas-batas sosial yang makin sulit ditembus. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, berubah menjadi alat pengukuhan posisi kelas.

Hal ini mengkhawatirkan karena berisiko menimbulkan stigma yang melekat seumur hidup. Seorang lulusan Sekolah Rakyat, meskipun berprestasi, akan tetap dibayangi oleh label sebagai “produk bantuan sosial”. Label ini, meski tak terucap, bisa berdampak dalam proses penerimaan kerja, interaksi sosial, bahkan dalam persepsi diri anak itu sendiri.

Pendidikan yang memisahkan berdasarkan latar belakang justru merampas hak anak untuk tumbuh dengan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa dirinya setara dengan siapa pun.

Sementara itu, Sekolah Garuda pun tidak luput dari masalah. Dengan segala eksklusivitas dan label prestisius yang melekat, sekolah ini bisa membentuk generasi yang terisolasi dari realitas sosial di sekitarnya.

Anak-anak Sekolah Garuda mungkin memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi, tetapi tanpa pemahaman mendalam tentang keberagaman sosial dan dinamika ketimpangan, mereka tumbuh dalam gelembung elite yang rapuh. Ini adalah konsekuensi dari pemisahan sistemik yang tidak hanya memisahkan akses, tetapi juga pengalaman hidup—dan ini sangat berbahaya dalam bingkai negara kesatuan.

Anak-anak dari latar belakang ekonomi rendah yang masuk Sekolah Rakyat tumbuh dalam realitas sebagai “penerima manfaat”, sedangkan anak-anak Sekolah Garuda dibentuk menjadi pemimpin masa depan.

Narasi ini bukan hanya tidak adil, tapi juga merusak. Ia menciptakan dua generasi yang berjalan di jalur berbeda—satu dibimbing menuju pusat kekuasaan dan pengaruh, dan yang lain diarahkan untuk sekadar bertahan dalam batasan yang ditentukan, sehingga tetap menjadi yang tersisihkan.

Dalam konteks ideologi bangsa, pemisahan ini mencederai Pancasila, terutama sila kedua dan kelima. Pendidikan yang berkeadilan tidak mengenal pemisahan berdasarkan status ekonomi. Semua anak bangsa, tanpa kecuali, harus mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan yang inklusif dan setara.

Ketika pemerintah memisahkan anak-anak berdasarkan ekonomi dan potensi intelektual, maka itu bukan hanya persoalan kebijakan—itu adalah pengkhianatan terhadap dasar negara.

Sekolah bukanlah tempat untuk membedakan siapa yang layak masuk ke universitas top dunia dan siapa yang hanya pantas mendapat pelatihan keterampilan dasar.

Sekolah adalah tempat menyemai mimpi, membangun solidaritas, dan menyatukan perbedaan. Ketika pendidikan menjadi alat klasifikasi sosial, maka yang hilang bukan hanya kesetaraan, tetapi juga semangat kebersamaan yang menjadi jantung bangsa ini.

Kebijakan semacam ini seharusnya diganti dengan pendekatan afirmatif yang lebih inklusif. Artinya, semua sekolah publik harus dibangun dengan kualitas yang merata, fasilitas yang layak, guru yang kompeten, dan sistem pendukung yang kuat bagi siswa dari latar belakang ekonomi rendah.

Tidak perlu membangun sekolah khusus untuk anak miskin, cukup buat semua sekolah mampu merangkul mereka. Beasiswa, bimbingan belajar gratis, dan pelatihan pedagogi kritis bagi guru adalah contoh kebijakan yang lebih humanis dan menjangkau.

Dengan pendekatan ini, siswa miskin tetap berada dalam ruang yang sama dengan siswa lainnya, namun mereka diberikan dukungan ekstra agar bisa mengejar ketertinggalan dan berkembang sesuai potensinya. Inilah bentuk keadilan sosial yang tidak merendahkan martabat manusia.

Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) bukan berarti membangun sekolah elite dan sekolah rakyat secara terpisah. Ini justru mengirim pesan keliru tentang arti kecerdasan dan kesuksesan. Seakan-akan kecerdasan hanya milik mereka yang sejak awal terdeteksi unggul, sementara yang lain cukup diajarkan untuk “menjadi baik”.

Padahal, potensi manusia tidak bisa diukur secara sempit lewat tes akademik. Banyak siswa dari latar belakang miskin yang unggul—mereka hanya belum diberi ruang untuk menunjukkan kemampuan mereka.

Bayangkan jika seluruh SMA di Indonesia menjadi Sekolah Garuda—bukan dalam kemewahan fisik, tapi dalam semangat: semangat mutu, inklusivitas, dan kebersamaan. Pendidikan semacam ini akan menciptakan ruang belajar yang penuh keragaman dan saling pengertian, di mana anak-anak dari berbagai latar belakang saling mengenal dan bertumbuh bersama.

Penting untuk diingat bahwa niat baik tidak selalu menghasilkan kebijakan yang baik. Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat mungkin dilahirkan dengan semangat memperbaiki, namun jika arah kebijakannya memisahkan dan membatasi, maka itu bukan perbaikan, melainkan perpecahan.

Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas, pendidikan harus menjadi alat untuk menyatukan, bukan membelah. Kita membutuhkan sistem pendidikan yang membebaskan semua anak dari belenggu kemiskinan, diskriminasi, dan stereotip.

Keadilan dalam pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai “memberi sesuai kelas”, tetapi memastikan semua anak—dari mana pun asalnya—bisa tumbuh sebagai anak bangsa yang bermartabat.

Semua anak Indonesia adalah anak Garuda. Setiap dari mereka pantas mendapat sayap untuk terbang setinggi mungkin, demi menggapai cita-cita dan memajukan Indonesia.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025.

Penulis: Saparudin, Plt Disdukbud Kota Bontang

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x