Sekretaris Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Rizali Hadi. (ist)SANGATTA – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menghadapi tekanan fiskal besar menjelang penetapan APBD 2026. Sekretaris Kabupaten (Seskab) Kutim, Rizali Hadi, mengungkapkan bahwa asumsi anggaran yang sebelumnya dipatok Rp 11 triliun kini harus direvisi turun secara signifikan.
Perli diketahui, proyeksi sementara APBD Kutim 2026 dikisaran angka Rp4,8 miliar meskipun belum final, angka tersebut melangami terjun bebas jika dibandingkan dengan APBD tahun 2024 yang mencapai lebih dari Rp14 triliun, atau APBD 2025 yang berada di kisaran Rp8 triliun.
Sehingga, lanjut Rizali, kondisi ini membuat pemerintah sangat memutar otak. Bahkan, berbagai upaya strategi dilakukan dalam menghadapi persoalan itu, salah satunya menyesuaikan kembali anggaran belanja daerah. Misalnya pada plafon anggaran Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN, itu juga terancam disesuaikan.

“Perencanaan tahun lalu, asumsi anggaran kita di angka 11 triliun. Sekarang, kalau anggaran kita menurun, belanja pegawai, terutama untuk TPP itu menyesuaikan kemampuan keuangan daerah,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa belanja wajib seperti gaji ASN tidak akan berubah karena sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun pos anggaran lain, termasuk TPP, mengikuti kemampuan fiskal Kutim.
“Untuk tahun 2026 ini, kita betul-betul harus press sekali. Harus memperhitungkan betul kemampuan keuangan fiskal kita,” jelasnya.
Rizali menyebut komposisi PNS dan PPPK masih dalam proses perhitungan. Kutim juga menunggu kejelasan dari Kementerian Keuangan terkait besaran dana belanja pegawai yang bisa ditopang pusat.
“Tapi belanja pegawai itu tidak boleh melebihi 30 persen dari APBD, itu patokannya kita,” ujarnya.
Meski isu penurunan TPP beredar luas, Rizali memastikan belum ada keputusan resmi. Namun ia tidak menampik bahwa penyesuaian sangat mungkin terjadi.
“Ya, kalau untuk TPP, kita menyesuaikan kemampuan keuangan daerah. Intinya di situ,” ucapnya.
Penurunan APBD disebut dipicu melemahnya dana transfer pusat, terutama Dana Bagi Hasil (DBH) dari perkebunan dan pertambangan. Kondisi serupa juga dialami sejumlah daerah di Kaltim yang bergantung pada DBH.
“Penurunan DBH ini sangat memengaruhi APBD kita. Kami terus berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan pusat untuk mencari solusi terbaik,” katanya.
Tidak ada komentar