Sepenggal Cerita di Balik Sakralnya Perayaan Pesta Adat Lom Plai

KUTIM – Warga Dayak Wehea punya cara tersendiri mewujudkan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Bahkan dilaksanakan rutin tahunan. Dengan menggelar Lom Plai, sebuah pesta adat sebagai ungkapan rasa terima kasih warga kepada Dewi Padi.

Event ini terlaksana di Long Diang Yung di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur (Kutim), Selasa (2/5/2023) kemarin. Selain sebagai ungkapan syukur, event ini juga sebagai sarana pelestarian budaya dan kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga kini oleh masyarakat Dayak Wehea.

“Panenku telah datang, wargapun kini tak lagi kelaparan. Terimakasih padamu Dewi Padiku. Kini kupersembahkan sebuah pesta sebagai wujud rasa syukurku dan terima kasih kepadamu,” terang Kepala Suku Adat Dayak Wehea, Ledjie Taq saat perayaan puncak Lom Plai yang digelar di Desa Nehas Liah Bing.

Ledjie Taq pun sedikit mengisahkan sejarah Lom Plai. Dewi Padi atau Long Diang Yung dulunya adalah seorang putri cantik jelita anak semata wayang dari Ratu Dayak Wehea, Diang Yung. Putri tersebut sengaja dikorbankan dengan cara disembelih, untuk menyelamatkan warganya yang menderita kelaparan akibat kemarau berkepanjangan.

Kisah tersebut hingga kini menjadi legenda. Sehingga tiap tahun usai panen, masyarakat adat Wehea selalu menggelar Lom Plai. Masyarakat Dayak Wehea percaya dengan pengorbanan Putri Long Diang Yung dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh manusia.

Menurutnya, untuk menentukan tanggal pelaksanaan perayaan Lom Plai, ketua adat dan para tetua adat bersama-sama merumuskan dengan cara melihat posisi bulan di langit. Konon umumnya dalam kepercayaan masyarakat Wehea ada dua jenis bulan di dunia.

“Tiga jenis bulan itu adalah bulan berkah atau kami sebut bulan baik, bulan naas dan bulan sial. Nah dalam penetapannya, kami memilih bulan baik agar kehidupan kita lebih baik dan hasil panen bisa lebih baik lagi,” ujarnya.

Ditambahkannya, dalam perayaan Lom Plai ada beberapa hal yang wajib dilaksanakan masyarakat Adat Dayak Wehea, yakni memasak pluq (lemang) di subuh hari, kemudian di pagi hari dilanjutkan melakukan Naq Jengea, Seksiang (perang-perangan di sungai), hingga Plaq Sai (lomba perahu).

“Sebelum menari Hudoq (makhluk dari kayangan) tarian untuk menjaga tanaman padi, agar tetap bisa subur pada musim depan, Setiap tamu yang datang wajib menikmati sajian dari tuan rumah seperti makan lemang,”ucapnya.

Ledjie pun berharap pemerintah bisa lebih memerhatikan kesejahteraan masyarakat adat Wehea. Karena saat ini masyarakat memiliki program besar. Selain melestarikan budaya, perlindungan terhadap hutan Lindung Wehea juga diemban masyarakat adat.

“Saat ini untuk pesta adat Lom Plai sudah mendunia. Apalagi setiap perayaan yang berminat justru warga asing. Banyak turis yang datang tiap tahun. Warga lokal pun banyak,” tutupnya.