Program Rp 50 Juta per RT Dipersoalkan, DPRD Kutim Tampung Keluhan Warga

Sekretasris Komisi D DPRD Kutim Basti Sangga Langi. (Ist)

KUTIM – Anggaran program pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) senilai Rp 50 juta per RT dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menuai kontroversi. Sekretaris Komisi A DPRD Kutim, Basti Sangga Langi, mengungkapkan bahwa dari anggaran tersebut, 80 persen atau Rp 40 juta dialokasikan untuk pembangunan fisik. sementara sisanya 20 persen atau Rp 10 juta diperuntukkan bagi pengembangan UMKM.

Pengeluaran anggaran sebesar Rp 10 juta ini mendapat keluhan dari para pengurus RT, yang menganggapnya terlalu besar untuk kegiatan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) UMKM. Meskipun telah mengikuti pelatihan, peningkatan ekonomi masyarakat belum terasa.

“Banyak masyarakat dan pengurus RT yang mengeluhkan hal ini. Mereka mempertanyakan pelaksanaan pelatihan dan bagaimana cara memasarkan produk setelah menghasilkannya,” ujar Basti kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Masyarakat juga menanyakan tentang cara atau teknik memasarkan produk UMKM melalui media sosial atau internet, terutama bagi mereka yang telah mengikuti pelatihan namun masih minim pemahaman tentang teknologi.

“Maksud mereka adalah bagaimana produk-produk ini dapat dipasarkan melalui aplikasi seperti Shopee, Facebook, atau apakah ada aplikasi khusus lokal untuk produk Kutim,” ungkap Basti.

Basti mengungkapkan bahwa UMKM Kutim telah menghasilkan produk lokal seperti kripik singkong, kripik pisang, dan amplang. Namun, kendala yang dihadapi adalah ketersediaan peralatan.

Politisi PAN ini meminta pemerintah untuk memberikan bantuan alat produksi atau mesin cetak kripik dan amplang, karena alat tersebut masih sulit ditemukan di pasaran.

“Bagaimana mereka bisa meningkatkan kemampuan mereka setelah mengikuti pelatihan jika tidak ada peralatan yang tersedia untuk mencetak produk di rumah? Oleh karena itu, diperlukan bantuan pemerintah dalam menyediakan peralatan yang dibutuhkan,” tegasnya.

Menurut Basti, akan lebih baik jika pemerintah menyediakan tempat khusus untuk memasarkan produk-produk lokal tersebut. Hal ini akan memudahkan wisatawan atau pengunjung yang datang ke Kutim untuk membeli hasil karya masyarakat sebagai oleh-oleh.

“Jika mereka membeli produk-produk kita, maka UMKM kita akan semakin berkembang,” tambahnya dengan tegas.

Basti juga mengusulkan agar pemerintah menyediakan tempat khusus yang dapat menjadi pusat penjualan produk lokal Kutai Timur. Dengan adanya tempat tersebut, para wisatawan atau orang yang berkunjung ke Kutim akan lebih mudah diarahkan untuk membeli produk-produk UMKM sebagai oleh-oleh.

Perbaikan program UMKM serta dukungan yang lebih baik dari pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat mendorong pertumbuhan dan keberlanjutan UMKM di Kutai Timur.