MEMONESIA.COM — Piala Dunia Antarklub 2025 nampaknya tidak berjalan sesuai harapan para penyelenggara. Stadion-stadion pertandingan kerap terlihat sepi penonton meskipun FIFA telah mengucurkan lebih dari USD 50 juta (sekitar Rp 815 miliar) untuk kampanye pemasaran agresif, termasuk lewat influencer media sosial.
Fakta di lapangan menunjukkan hasil mengecewakan. Laga Ulsan HD (Korea Selatan) melawan Mamelodi Sundowns (Afrika Selatan) di Inter & Co Stadium, Orlando, hanya dihadiri sekitar 3.000 penonton. Padahal stadion tersebut berkapasitas lebih dari 25.000 kursi.
Kondisi serupa terjadi dalam pertandingan antara Chelsea dan Los Angeles FC di Stadion Mercedes-Benz, Atlanta. Meski melibatkan tim besar Eropa dan klub lokal AS, hanya sekitar 22.000 orang yang hadir di stadion berkapasitas 71.000 tempat duduk—hanya 31 persen dari total kapasitas.
Pelatih Chelsea, Enzo Maresca, mengakui atmosfer pertandingan terasa janggal. “Stadion hampir kosong. Kami profesional, harus bisa beradaptasi, tapi jelas ini bukan ideal,” ujarnya.
Lalu Apa Penyebab?
Tiket mahal dan jadwal yang tidak ramah penonton disebut sebagai biang keladi. Laga Chelsea vs LAFC digelar pada hari kerja pukul 15.00 waktu setempat, saat sebagian besar orang masih bekerja. Ditambah lagi, jarak LA ke Atlanta yang mencapai 3.000 km membuat kehadiran pendukung LAFC nyaris mustahil.
FIFA juga dinilai gagal menyusun strategi penetapan harga tiket. Untuk laga Inter Miami vs Al Ahly—yang justru jadi pertandingan dengan penonton terbanyak (60.927 orang)—tiket awal seharga USD 349 (Rp 5,7 juta) anjlok menjadi USD 69, lalu didiskon ekstrem menjadi paket lima tiket seharga USD 20 (Rp 326 ribu) bagi mahasiswa lokal.
Mengutip Sports Illustrated, buruknya kampanye promosi, pengamanan yang terlalu ketat, serta bersaingnya event lain seperti Piala Emas CONCACAF di AS dan Kanada turut memperparah kondisi. Minat masyarakat terhadap turnamen ini pun terpecah dan melemah.
Sepinya penonton di Piala Dunia Antarklub menjadi alarm keras bagi FIFA menjelang penyelenggaraan Piala Dunia antarnegara 2026, yang juga akan digelar di Amerika Utara. Dengan target pemasukan hingga USD 13 miliar (Rp 212 triliun) untuk siklus turnamen tersebut, kegagalan dalam membaca pasar lokal bisa menjadi risiko besar. (red)
Tidak ada komentar