PWI Kaltim Sebut Jurnalis Belum Berkompetensi Boleh Ditolak Wawancara, FJB; Pernyataan yang Tak Berdasar

ilustrasi

MEMONESIA.COM – Forum Jurnalis Bontang (FJB) menyayangkan pernyataan PWI Kaltim yang menyebut narasumber dapat menolak permintaan wawancara dari jurnalis yang belum tersertifikasi. FJB menilai komentar yang dikeluarkan ketika bertemu jajaran Kejaksaan Tinggi Kaltim, Jumat (17/9/2021), sangat tendensius.

Ketua Bidang Organisasi FJB Herdi Jaffar mengatakan, bila semua narasumber melakukan hal sama, justru yang jadi korban adalah jurnalis muda. Mereka kurang bekal untuk ikut uji kompetensi. “Kalau begitu caranya, terus dari mana wartawan dapat pengalaman untuk bekal mengikuti uji kompetensi,” ujar Herdi, Senin (20/9/2021) siang.

Dijelaskan, FJB sendiri mendukung dilakukannya uji kompetensi wartawan (UKW) atau uji kompetensi jurnalis (UKJ). Namun, bukan berarti kebijakan itu dijadikan dasar untuk menekan mereka yang belum mengikuti UKW/UKJ.

“April lalu FJB menggelar UKJ dengan menggandeng Solopos Institute. Jadi kami juga merasa bahwa kompetensi itu memang penting,” ujarnya.

Sementara, Ketua FJB Edwin Agustyan mengatakan, tidak ada aturan yang menyebutkan narasumber boleh menolak wawancara dari jurnalis yang tak berkompetensi. Benar bila narasumber punya hak tolak untuk wawancara, jurnalis mesti menghargai ini. Namun, bila alasan penolakan karena si jurnalis tak berkompetensi, itu sangat menyudutkan.

“Tidak ada aturan yang menyebut kalau narasumber boleh menolak wawancara dari jurnalis tak berkompetensi. Coba ditunjukkan kalau memang ada. Mungkin saya kelewat,” bebernya.

Edwin bilang, uji kompetensi itu penting. Guna mengukur kualifikasi atau kompetensi seorang jurnalis. Pun, jurnalis yang telah mengikuti uji kompetensi biasanya lebih bersemangat untuk meningkatkan pengetahuan dan mutu karya jurnalistiknya. Meski dalam praktiknya, ada juga jurnalis yang dinyatakan berkompeten tapi kode etik jurnalis (KEJ) diabaikan ketika bekerja.

“Penting itu (uji kompetensi). Tapi kalau dijadikan acuan, boleh tidaknya mewawancarai narasumber, yang kasihan jurnalis muda. Ini juga berpotensi membuat jurnalis muda yang bersemangat dan berkualitas dikerdilkan, karena belum dinyatakan berkompeten. Padahal untuk ke sana, harus ada proses dulu. Mereka praktik di lapangan, baru diuji. Bukan sebaliknya, diuji dulu baru praktik,” urainya.

Lebih jauh dia mengatakan, organisasi kewartawanan mestinya memperjuangkan semangat solidaritas, memperjuangkan kebebasan pers dan meningkatkan profesionalisme para juru warta. Batasan jurnalis berkompetensi dan tidak, praktis membuat mereka yang tak berkompetensi merasa dikerdilkan dan terdiskriminasi.

“Kalau begitu, bagaimana mau berkembang. Nanti malah jadi kaleng-kaleng benaran,” tandasnya.

Berdasarkan rilis PWI Kaltim yang diterima bontangpost.id, Ketua PWI Kaltim Endro S Efendi ketika bertemu dengan jajaran Kejaksaan Tinggi Kaltim menyebut bahwa untuk menjaga profesionalisme dan mutu pers, setiap wartawan wajib berkompetensi. Hal itu diukur dari sertifikasi yang sudah diikuti oleh pewarta masing-masing. Sesuai ketentuan Dewan Pers, sertifikasi wartawan dibagi ke dalam tiga jenjang. Wartawan muda, madya, dan utama.

“Kalau ada wartawan yang mau wawancara tapi tak bisa menunjukkan kompetensinya, narasumber bisa menolak,” kata Endro. Data wartawan yang sudah kompeten tersebut bisa diakses secara online di laman Dewan Pers. (*)